Keputusan Kontroversial KPU Soal Dokumen Capres Dibatalkan

Ketua KPU RI Afifuddin (tengah) memberikan keterangan di Kantor KPU Jakarta, Selasa (16/9/2025).Photo Antara
INDOSBERITA.ID.JAKARTA – Dalam sebuah manuver yang jarang terjadi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan membatalkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025, yang sebelumnya menetapkan 16 dokumen syarat pendaftaran calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi yang dikecualikan dari akses publik.
Langkah ini datang setelah gelombang kritik publik membanjiri media sosial, menyuarakan kekecewaan atas tertutupnya proses seleksi pemimpin nasional. Banyak pihak menilai keputusan tersebut sebagai kemunduran besar dalam prinsip keterbukaan dan transparansi demokrasi.
“KPU mendengar. KPU mempertimbangkan. Dan KPU akhirnya membatalkan keputusan tersebut,” ujar Ketua KPU RI, Afifuddin, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (16/9).
Keputusan awal KPU Nomor 731 menetapkan dokumen seperti surat keterangan sehat jasmani-rohani, laporan harta kekayaan, hingga surat keterangan tidak pernah dipidana sebagai informasi yang tidak boleh diakses publik tanpa persetujuan capres-cawapres terkait.
Alasan resminya,melindungi data pribadi para calon. Namun publik melihatnya lain sebagai potensi tabir untuk menyembunyikan informasi penting tentang para calon pemimpin negara.
“Kalau informasi dasar seperti itu saja ditutup, bagaimana rakyat bisa memilih dengan cerdas?” tulis seorang netizen di platform X (Twitter), yang mendapat ribuan retweet.
Afifuddin menyebut KPU membuat keputusan awal tersebut dengan mempertimbangkan berbagai regulasi, termasuk UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Perlindungan Data Pribadi. Namun, ia mengakui bahwa dalam praktiknya, keseimbangan antara keterbukaan dan privasi tetap harus berpihak pada kepentingan publik terutama dalam proses pemilu.
“Kami telah berkoordinasi dengan Komisi Informasi Pusat. KPU harus tetap memedomani prinsip-prinsip keterbukaan sebagaimana amanat Undang-Undang,” jelasnya.
Pembatalan Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 menjadi bukti bahwa partisipasi publik masih memiliki kekuatan untuk mempengaruhi arah kebijakan, bahkan di level institusi penyelenggara pemilu. Transparansi bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban dalam sistem demokrasi. Ke depan, KPU diharapkan lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang menyangkut hak publik, karena kepercayaan rakyat dibangun bukan dengan kerahasiaan, tetapi dengan keterbukaan.